Top Blogs

Selasa, 23 September 2008

Mampukah bisnis parcel bangkit lagi?

oleh : Linda T. Silitonga

Penantian panjang Asosiasi Pengusaha Parcel Indonesia (APPI) berakhir, setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberi lampu hijau bagi pejabat untuk menerima bingkisan Lebaran dengan senilai maksimal Rp 500.000.

Masih teringat jelas ketika Ketua APPI Fahira Fahmi Idris 'memboyong' sekitar 30 pengusaha bingkisan ke kantor KPK pada 2006. Mereka mempertanyakan kebijakan lembaga itu.

Dengan lantang Fahira mendesakkan pencabutan imbauan yang berbau larangan pemberian parcel bagi pejabat. Hal itu karena imbauan pada 2005 dan 2006, separuh dari perusahaan parcel bangkrut. Adapun omzet perusahaan bingkisan Lebaran yang masih bertahan bisa anjlok hingga 80%.

Meskipun KPK hanya membidik kalangan pejabat agar tidak menerima bingkisan yang dikhawatirkan tersisip makna 'ada udang di balik batu', kalangan swasta juga terseret untuk melakukan hal yang sama. Kenyataan ini yang membuat bisnis parcel makin morat-marit.

Upaya Fahira pada 2006 belum membuahkan hasil. Terbukti pada 2007, KPK tetap mengeluarkan imbauan sejenis.

Akan tetapi imbauan pada 2007 disikapi berbeda oleh APPI. Fahira tidak memboyong pengurus dan anggota lainnya untuk kembali mendatangi KPK. APPI seperti 'pasrah' dengan mengeluarkan imbauan kepada anggotanya agar mengalihkan usaha ke bidang lain seperti membuat kue, karena kondisi omzet yang tidak menjanjikan.

Sikap APPI kembali berubah, setelah membaca imbauan KPK yang terakhir dan dikeluarkan pada Maret 2008. Diperbolehkannya pejabat menerima bingkisan Lebaran meski dibatasi maksimal Rp 500.000, cukup membuat optimisme pengusaha parcel bangkit lagi. "Kami perkirakan tahun ini ada kenaikan omzet 50%."

Juru bicara KPK Johan Budi menjelaskan meskipun tahun ini pejabat diperbolehkan menerima parcel dengan batasan Rp 500.000, namun KPK tetap mewajibkan pejabat penerima bingkisan melaporkan hadiah itu paling lambat 30 hari kerja sejak bingkisan diterima.

Setelah mendapat laporan, KPK akan melakukan pemeriksaan apakah parcel nilainya sesuai dengan batasan nilai maksimal. Jika memenuhi persyaratan pejabat bisa mendapatkan kembali bingkisannya, jika dinilai lebih dari Rp 500.000 parcel akan diserahkan kepada negara.

KPK sebelumnya membandingkan dengan kebijakan di luar negeri, salah satunya di Malaysia. Pejabat di negeri jiran diperbolehkan menerima parcel dengan nilai maksimal 100 ringgit Malaysia atau sekitar Rp 280.000.

Johan menolak dihubungkan dengan anjloknya bisnis perusahaan parcel. "KPK tidak melarang orang membeli parcel. Bedakan antara menerima dan membeli. Silakan membeli parcel sebanyaknya dan beri kepada yang membutuhkan seperti fakir miskin. Kenapa pejabat yang dikasih, berarti ada sesuatu," ujar Johan.

Memang KPK mengeluarkan instruksi terkait dengan imbauan pejabat agar tidak menerima bingkisan Lebaran pada 4 tahun terakhir ada batasan maksimal Rp500.000 per bingkisan dan harus dilaporkan.

Ketentuan imbauan tidak mendapat bingkisan bagi pejabat dituangkan dalam bentuk siaran pers. Adapun dasar hukumnya mengacu pada UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Isi laporan gratifikasi
- Nama dan alamat lengkap penerima dan pemberi gratifikasi
- Jabatan pegawai negeri atau penyelenggara negara
- Tempat dan waktu penerimaan gratifikasi
- Uraian jenis gratifikasi yang diterima
- Nilai gratifikasi yang diterima
Sumber: UU No. 30/2002

Dalam UU itu dijelaskan setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi (hadiah) wajib melaporkan kepada KPK. Selanjutnya KPK selambatnya 30 hari kerja sejak laporan diterima, wajib menetapkan status kepemilikan gratifikasi disertai pertimbangan.

Lebaran tinggal 2 minggu lagi, pengusaha parcel berharap bisnis yang lebih cerah pada tahun ini. Akankah bisnis bingkisan Lebaran bisa kembali terdongkrak? (linda.silitonga@bisnis.co.id)

http://web.bisnis.com/artikel/2id1537.html

0 comments:

HOT INFO :
Ads By Google