Tanjung Priok kembali menjadi sorotan setelah muncul ancaman kepadatan arus barang atau kongesti di pelabuhan terbesar di Indonesia itu. Kekhawatiran itu diungkapkan oleh Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu pekan lalu saat meninjau kesiapan pelabuhan itu menghadapi lonjakan arus barang menjelang Lebaran.
Mendag memprihatinkan terhambatnya arus barang karena pelabuhan semakin dipadati barang ekspor dan impor, sementara lahan penumpukan sangat terbatas.
Kondisi ini menyebabkan pelayanan pelabuhan kian lambat karena ruang gerak bongkar muat terbatas. Jika tidak segera dicarikan solusinya, pelabuhan ini dikhawatirkan mengalami stagnasi sehingga mengacaukan distribusi barang di dalam negeri.
Ancaman kongesti bukan kejadian pertama di Priok. Namun, masalah ini semakin sering muncul seiring dengan pertumbuhan arus barang melalui pelabuhan itu. Selain keterbatasan lahan, manajemen arus barang di pelabuhan itu dinilai belum efisien. Sebagai contoh, kegiatan penarikan peti kemas impor dari lapangan penumpukan JICT (Jakarta International Container Terminal) ke lokasi pemeriksaan jalur merah atau behandle masih berjalan lamban. JICT merupakan operator terminal peti kemas terbesar di Tanjung Priok.
Persoalan lain yakni sebagian besar atau lebih dari 50% peti kemas yang telah melalui behandle belum juga dikeluarkan oleh pemiliknya sehingga berpotensi menambah kepadatan peti kemas di pelabuhan.
Berdasarkan informasi yang dihimpun Bisnis, penarikan peti kemas impor yang masuk kategori jalur merah dari JICT ke lokasi behandle Graha Segara bisa memakan waktu delapan hari sehingga lapangan penumpukan impor di JICT juga mengalami kepadatan.
Selain kondisi lapangan Graha Segara kini sangat padat, keterlambatan itu juga disebabkan oleh pihak JICT selaku operator yang bertanggung jawab atas kegiatan penarikan peti kemas behandle itu terkendala dengan keterbatasan peralatan dan trucking.
Di balik itu semua, masalah di Tanjung Priok tetap berujung pada keterbatasan lahan, terutama untuk penumpukan peti kemas. Sebagian lahan milik PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II, pengelola Tanjung Priok, masih digunakan untuk pergudangan, pertokoan, perumahan, dan keperluan lain yang tidak berhubungan langsung dengan kepentingan pelabuhan.
Belum lagi, masalah manajemen kepelabuhanan, termasuk soal tarif dan pelayanan. Penolakan terhadap kenaikan tarif pelayanan peti kemas atau container handling charge (CHC) belum lama ini juga menunjukkan kinerja pengelola pelabuhan belum maksimal.
Pemerintah sebenarnya menyadari kesemrawutan Tanjung Priok. Salah satu upaya adalah memperbarui rencana induk atau master plan pelabuhan itu guna menetapkan prioritas pengembangan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang.
Sayangnya, pemerintah seolah-olah masih setengah hati menjalankan master plan itu. Ini terlihat dari protes kalangan pengguna jasa kepelabuhanan terhadap sejumlah proyek di pelabuhan. Sebut saja misalnya, protes terhadap pembangunan tangki bahan bakar minyak (BBM) di dekat lapangan peti kemas dan pembongkaran gudang milik PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni).
Rencana induk Pelabuhan Tanjung Priok |
---|
Jangka pendek (hingga 2012) - Redesain pelabuhan sesuai perkembangan. - Pembangunan terminal curah cair Koja 13 ha - Pembangunan terminal CPO 4,7 ha - Penataan Semenanjung Paliat. - Penataan lapangan peti kemas - Pembangunan & pendalaman dermaga - Peningkatan jalan di area lini I. - Penataan di area Dok Kodja Bahari III |
Jangka menengah (2013-2017) - Reklamasi Ancol Timur (sudah direklamasi seluas 500 ha) - Pembangunan terminal serbaguna Ancol Timur - Pemotongan breakwater sisi barat 9.964 m. - Pembangunan breakwater 1.985 m2 untuk pintu masuk sisi barat - Reklamasi sisi timur dan utara breakwater seluas 215 ha - Reklamasi untuk dermaga peti kemas dan curah sepanjang 1.625 m - Penataan lahan eks Dok Kodja Bahari galangan II seluas 14,64 ha - Penataan lahan PT Sarpindo seluas 3,74 ha - Pengembangan Port Logistic Area di Kali Baru tahap I seluas 32 ha - Pengembangan office centre seluas 8.000 m2 |
Jangka panjang (2018-2050) - Reklamasi lahan utara breakwater seluas 265 ha - Penambahan dermaga peti kemas dan curah seluas 5.310 m2 - Tambahan dermaga multipurpose dan terminal penumpang 2.300 m - Reklamasi lahan Kalibaru seluas 55 ha - Pembongkaran breakwater sisi utara (dam timur) sepanjang 500 m - Pembangunan breakwater baru sepanjang 610 m - Pembangunan Port Logistic Area di Kali Baru Tahap II seluas 112 ha |
Lahan TNI AD
Di sisi lain, proyek pengembangan pelabuhan, seperti relokasi kompleks TNI AD (Yong Ang Air, Beng Pus Ang, dan Koterm A) masih terhambat. Padahal, lahan tersebut sangat potensial untuk pengembangan pelabuhan, terutama untuk terminal bongkar muat dan lapangan penumpukan peti kemas yang sangat dibutuhkan Priok.
Wakil pemegang saham pemerintah di Pelindo II disebut-sebut menolak penggunaan lahan itu, meski petinggi TNI AD setuju satuannya di Priok direlokasi ke tempat lain.
Hambatan birokrasi seperti ini tentu saja tidak sehat bagi pengembangan Tanjung Priok yang kian mendesak. Oleh sebab itu, pemerintah harus turun tangan untuk mempercepat pembenahan Tanjung Priok. Campur tangan dibutuhkan apabila suatu proyek krusial terhambat tanpa alasan yang jelas.
Langkah ini pernah dilakukan oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam proyek pembangunan car terminal di Tanjung Priok.
Proyek yang pembangunannya tertunda berkali-kali itu akhirnya dapat diselesaikan sesuai target, setelah Wapres memangkas birokrasi dan memberikan tenggat waktu penyelesaian proyek. (k1) (hery.lazuardi@bisnis.co.id)
http://web.bisnis.com/artikel/2id1534.html
0 comments:
Posting Komentar